Minggu, 14 Desember 2008

NEWS AND REPORT : PEDOPHILIA IN INDONESIA





Genoside itu Bernama Pedofil

Sumber : http://www.saradbali.com/edisi94/sorot.htm


Bali selain menawarkan obyek wisata yang menawan hati orang asing, juga menjadi surga bagi para pedofil dalam melakukan aksinya.
Glamour dunia pariwisata Bali ternyata tidak hanya menyajikan cerita sukses berupa sumbangan devisa dan lapangan kerja bagi masyarakat, namun juga menyertakan kepedihan di dalamnya. Genderang “pariwisata budaya” itu, juga telah mengundang sejumlah besar orang-orang asing yang melakukan perjalanan ke Bali untuk tujuan memperoleh akses seksual dengan anak-anak. Istilah kerennya adalah menjadi Pedofil. Pedofilia adalah seseorang yang berusia 35-65 tahun, memiliki fokus erotik dan fantasi serta kepuasan jika berhubungan seksual dengan anak-anak (umumnya di bawah 14 tahun). Jadi, dalam praktiknya, para pedofil di Bali melakukan aktifitas seksual dengan puluhan, bahkan ratusan korban; melakukan pemotretan telanjang dan semitelanjang terhadap anak-anak di Bali; mengoleksi foto dan celana dalam anak-anak untuk bahan fantasi seks, dan mengharuskan anak-anak yang diajaknya hanya memakai celana dalam sewaktu tinggal bersama pedofil di rumahnya. Seperti yang diungkapkan penduduk di Desa Muntigunung dan Pedahan Kaja, Karangasem, kaum pedofil tersebut ternyata sudah hadir lebih dulu di kampung mereka sebelum genderang “pariwisata budaya” itu berkumandang (1980-an). Menurut ingatan penduduk lokal di sini, orang-orang asing itu (kaum pedofil) sudah berdiam di kampung mereka sejak sekitar tahun 1974-an. Namun ironisnya, praktek pedofilia mereka baru terdengar sekitar tahun 1995, kemudian terungkap lagi pada tahun 1998 dan mulai mendapat perhatian khusus pada tahun 2004, setelah seorang pedofil asal Italia, Mario Manara (57 tahun) tertangkap di Lovina-Singaraja, dan seorang lagi mantan diplomat Australia, Wiliam Stuart Brown alias Tony (52 tahun) tertangkap di Karangasem, yang belakangan diketahui gantung diri di penjara (12 Mei 2005) setelah mendapat vonis hukum 13 tahun penjara.Pengalaman Bali, bukanlah sendiri. Negara-negara di Asia Tenggara, seperti Philipina, dan Thailand, juga pernah mengalami kasus serupa, bahkan di Philipina tepatnya di Pagsanjan (baca: Pak-sang-hang) pada tahun 1980-an pernah mendapat predikat sebagai “sorganya kaum pedofil Asing di Dunia”, (Kompas, 1997).

Menurut temuan End Child Prostitusion in Asia Tourism (ECPAT:1996) diketahui bahwa Asia dan Asia Tenggara sudah menjadi tempat yang paling populer bagi para pedofilia. Seperti di India misalnya telah diketahui sebanyak 500.000 anak-anak usia 5-16 tahun telah dijual ke pelacuran, di Srilangka sekitar 10.000 anak, di Filipina sekitar 60.000 anak, di Thailand sekitar 800.000 anak, di Kamboja 2.000 anak, di Banglades sekitar 10.000 anak dan di Vietnam sekitar 8.000 anak. Jumlah tersebut termasuk perdagangan dalam bentuk foto, video, maupun film.Teknik perdagangan pedofil umumnya lebih rapi dan terencana dengan menggunakan berbagai modus seperti sebagai turis (visa turis), guru salah satu bahasa asing, guru olah raga, bapak angkat, penitipan anak, pekerja sosial dan penderma keluarga miskin. Untuk melancarkan aksi modusnya itu seringkali mereka menggunakan media massa atau lembaga kemanusian (LSM) untuk menarik objeknya. Modus operasi selanjutnya setelah melampaui tahap perekrutan tersebut, adalah anak ditampung dalam kelompok pedofil dan selanjutnya anak diperlakukan secara seksual atau diperdagangakan khususnya untuk tujuan konsumsi pasar pornografi

Hasil penelitian Rohman dari Pusat Studi Kependudukan dan Kawasan (PSKK) Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, membabarkan dengan benderang fenomena pedofil di Bali. Hasil penelitian antropologis tersebut mengungkapkan bahwa ternyata industri pariwisata Bali telah menjadi bagian dari jaringan internasional perdagangan anak oleh para pedofil. Kawasan wisata memberikan kemudahan bagi pedofil untuk melancarkan aksinya.

Dari 21 kawasan wisata yang ada di Bali, terdapat tiga kawasan paling sering dikunjungi kaum pedofil sebagai tempat transit dan tujuan perdagangan antarpedofil atau antar perantara, yaitu Tulamben (Karangasem), Lovina (Buleleng), dan pantai Kuta (Badung). Dengan kedok sebagai turis, mereka dapat dengan mudah masuk ke daerah-daerah miskin atau obyek wisata secara bebas dan aman.Mudahnya kawasan wisata menjadi sasaran yang menguntungkan bagi para pedofil dalam memperdagangkan anak-anak, di antaranya, dipicu oleh beberapa faktor seperti kemiskinan, urbanisasi yang pesat, perceraian yang tinggi di desa-desa miskin, dan keterasingan geografis. Selain itu, faktor yang amat mempengaruhi adalah adanya ijin bagi para pedofil untuk tinggal dan membangun rumah di desa-desa miskin seperti di desa Pedahan dan Muntigunung. Selama kurun waktu 1996-2004 terdapat 25 pedofil asal Amerika, Australia, Inggris, Jerman, Perancis, dan Belanda yang menjalankan operasinya di Bali. Di dalam menjalankan operasi mereka, anak-anak yang diperdagangkan biasanya ditujukan untuk ‘konsumsi’ antar sesama pedofil, ataupun untuk dipekerjakan di pelacuran, bar, dan restoran.

Dalam merekrut korbannya, pedofil menggunakan sejumlah motif, antara lain, berperan sebagai bapak angkat, berpacaran, perkawinan, dan memebri bantuan ekonomi. Di antara sejumlah tersebut, motif berperan menjadi bapak angkat paling banyak digunakan dan efektif. Motif-motif yang lain justeru sering menimbulkan perlawanan dari anak, orang tua, dan warga setempat.Selain memperlakukan korbannya secara seksual mereka juga memperdagangkannya baik melalui foto, video, atau anaknya secara langsung. Polanya menggunakan teknik pindah tangan, jaringan lokal dan luar dengan melibatkan orangtua anak, broker dari penduduk desa, dan pialang anak di daerah wisata. Dari tujuan perdagangan yang berhasil diidentifikasi diketahui bahwa mereka memperdagangkan anak untuk tujuan konsumsi antar sesama pedofil, dijual ke pelacuran dan objek pornografi.Akibat dari perlakukan perdagangan seksual tersebut, nasib korban pedofil ada yang menjadi pelacur, aborsi 2-4 kali, sebagian besar pernah berniat bunuh diri dan seorang anak telah melakukan bunuh diri. Proses pemindahan ada yang di Bali dan sebagian kecil (sekitar 5 anak) di luar negeri khususnya ke negara asal para pedofil. Para pedofil ini dikenal ada yang heteroseksual dan homoseksual atau sering disebut pedofilia invariant. Dalam pedofilia tipe pertama, korban yang disasar umumnya adalah anak-anak perempuam sedangkan dalam tipe yang kedua lebih banyak anak laki-laki. Dalam kelompok yang kedua ini biasanya pedofil yang bersangkutan berkarakter kaku, tidak memiliki ketertarikan sosial dan hanya memiliki jangkauan aktifitas yang terbatas. Oleh karena itu dalam perdagangannya relatif sulit diketahui karena lingkup jaringannya juga terbatas dan kebanyakan para pedofilnya bersoliter (beroperasi menyendiri).

Dalam kasus Bali, identifikasi yang diketahui terhadap pola perdagangan mereka adalah pola pindah tangan dengan teknik menjemput korban. Para pedofil invariant dari luar Bali datang ke Bali dan setelah di Bali mereka dipandu oleh pedofil invariant yang telah lama beroperasi di Bali yang selanjutnya anak yang telah menjadi asuhan pedofil invariant di Bali diserahkan secara penuh kepada pedofil dari luar Bali tersebut. Selain pola perdagangan seperti tersebut, terdapat juga pola perdagangan dengan membawa anak korban ke luar negeri. Pola perdagangan seperti ini di Bali memang masih merupakan kasus yang sangat jarang terjadi.

Provided by
DR WIDODO JUDARWANTO

SAVE INDONESIAN CHILD FROM PEDOPHILIA AND SEX ABUSE,
WE SMILE WITH YOU, WORKING TOGETHER SUPPORT ALL OF CHILDREN
Organized by Yudhasmara Foundation
JL TAMAN BENDUNGAN ASAHAN 5 JAKARTA PUSAT, JAKARTA INDONESIA 10210
PHONE : (021) 70081995 – 5703646
email : wido25@hotmail.com, cfc2006@hotmail.com
http://pedophiliasexabuse.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar