Sabtu, 20 Desember 2008

NEWS AND REPORT : CHILD SEXUAL ABUSE & PEDOPHILIA IN INDONESIA





BERITA CHILDREN SEXUAL ABUSE DI INDONESIA






.





Provided by
DR WIDODO JUDARWANTO SpA



FIGHT CHILD SEXUAL ABUSE AND PEDOPHILIA
Yudhasmara Foundation
JL TAMAN BENDUNGAN ASAHAN 5 JAKARTA PUSAT, JAKARTA INDONESIA 10210
PHONE : (021) 70081995 – 5703646
email :
judarwanto@gmail.com,
http://pedophiliasexabuse.blogspot.com/



.





NEWS I : PERDAGANGAN ANAK UNTUK PSK

sumber : tempo

sebutlah namanya Mawar, akan genap 16 tahun september nanti, rela menjual dirinya untuk melayani nafsu om-om karena desakan ekonomi. “Biaya pendidikan mahal, biaya hidup mahal mas, mau kerja yang bener saya masih sekolah sedangkan kebutuhan hidup gak bisa menunggu, mana pemerintah menaikan harga BBM lagi, jadi apa2 tambah mahal” demikian kilahnya.
diperkirakan, 30 persen pelacur atau pekerja seks komersial (PSK) di Indonesia dijalani oleh anak-anak di bawah umur atau di bawah usia 18 tahun. Hal itu ditandaskan Deputi Perlindungan Anak pada Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan, Dr Surjadi Soeparman MPH.
Secara nasional memang tidak ada angka pasti jumlah anak di bawah umur yang dilacurkan. Sebab fenomenanya ibarat gunung es. Namun diperkirakan jumlah itu sekitar 30 persen.
Surjadi mengungkapkan, persebaran pelacur anak di bawah umur hampir merata di tiap daerah. Mereka mudah ditemukan di kantong-kantong kemiskinan. Karena itu, pemerintah daerah bertanggung jawab untuk menekan jumlah anak yang dieksploitasi menjadi pelacur. Pemerintah daerah harus melindungi anak-anak, utamanya yang putus sekolah, agar tidak dieksploitasi.
Menurut dia, eksploitasi seks komersial terhadap anak (Eska) terjadi dalam tiga hal. Yakni, prostitusi, perdagangan anak (trafficking), dan pornografi. Ia mengatakan, Eska bukan hanya masalah moral, tapi masalah sosial. Anak-anak itu melacurkan diri atau dipaksa melacurkan diri karena desakan ekonomi.
Pelacuran ABG di hotel-hotel dilakukan oleh sindikat perdagangan anak.Berbeda dengan pelacuran anak-anak di jalanan, seharusnya sindikatyang melacurkan ABG di hotel-hotel dan tempat hiburan lain sudahlangsung ditindak karena kita telah memiliki Undang-UndangPerlindungan Anak. Eksploitasi seksual komersial anak (ESKA) ini tidakmempunyai korelasi langsung dengan pengembangan pariwisata nasional.Undang-Undang Kepariwisataan No. 9 Th. 1990 dengan tegas menolaksegala bentuk perjudian dan perzinahan (wisata seks). Kenyataannya,jaringan kerja pariwisata banyak disalahgunakan oleh pihak-pihaktertentu untuk menyelenggarakan bisnis ESKA. Misalnya hotel-hotel,tempat hiburan malam, dan pusat relaksasi. Sebanyak 30 persenprostitusi di Indonesia dilakukan anak-anak, dan pelancong /turismerupakan salah satu pengguna bisnis ESKA yang cukup potensial.
Bagi para germo (mucikari), bisnis pelacuran ABG adalah sebuah ladang uang yang menggiurkan. Mereka umumnya tak keberatan mengeluarkan modal besar untuk investasi di bidang ini. Dalam bisnis PSK, investasiseorang germo tidak mengenal rugi. Karena, konsumen (lelaki hidungbelang) datang sendiri ke tempatnya. Bagi para germo, yang terpentingdalam bisnis ini ada “keahlian” mencari dan menyediakanpelacur-pelacur muda, cantik, bahenol, atau menarik atensi lelaki.Biasanya seorang germo memiliki rumah bordil lebih dari satu. DiJakarta, germo-germo kawasan Bongkaran misalnya, penanaman modal danmembuka usaha pelacuran tak hanya di satu tempat saja. Mengingatbisnis ini cepat menyedot keuntungan besar, mereka juga buka usaha PSKdi tempat lain. Metoda ini, selain mencari keuntungan lebih, jugamerupakan siasat untuk mensirkulasikan PSK binaannya. Hal tersebutberkenaan dengan animo pelanggan yang selalu menginginkan pelacur barudan cantik lagi muda.
Dalam budaya patriarki, seksualitas perempuan diletakkan di bawahdominasi pria, yakni demi melayani kebutuhan seksual pria dan menjadipelayan emosionalnya (Sex Money and Morality, by Thank-DamTruong).Terminologi ini nyaris sejalan dengan kedudukan para pelacurdi mata mucikari. Bagi germo, pelacur tidak memiliki hak melawan ataumembantah kata-katanya, maka apa pun perintah germo harus dilakukantanpa boleh mengajukan keberatan.
Prostitusi di Eropa praindustri misalnya, tidak hanya merupakanrespons terhadap persoalan-persoalan sosial-ekonomi wargametropolitan, tetapi juga ekspresi dari ambisi untuk memuaskan hasratlibido yang seharusnya dikendalikan seoptimal mungkin (ContemporaryStudies in Society and History, by Perry). Meningkatnya urbanisasi dikota-kota besar, instabilitas demografi, dan dislokasi ekonomiperempuan, telah membuka jalan bagi diterimanya manfaat sosial rumahbordil dalam dua hal. Yakni sebagai tempat berlindung kaum wanita yangtak memiliki tempat tinggal, sekaligus menyediakan para lelaki yangjauh dari istrinya untuk memuaskan libidonya.
Sebelum kita bergerak memberantas pelacuran, setidaknya kita harusmenelusuri lebih dulu alasan/motif mereka menjadi pelacur. Padadasarnya, motif mereka seragam: tuntutan ekonomi. Sebab itu, para PSKyang ditangkapi dan dibawa ke pusat rehabilitasi, selain diberipenyuluhan keagamaan, juga diberi pengetahuan tentang penyakitkelamin, bahkan harus diberi semacam kursus/ketrampilan sebagai bekalhidupnya setelah kembali ke masyarakat. Jika tidak, kemungkinan besarmereka menjadi PSK lagi.
Para ABG yang terperangkap dalam pelacuran, bukan hanya bisa pasrah menjalani kehidupan yang kejam, tetapi mereka juga tak jarang harusberhadapan dengan orang-orang di sekitarnya yang gila libido, liar,dan sering tidak kenal belas kasihan.
Berbeda dengan buruh anak di sektor perkebunan atau pertambangan yangkebanyakan hanya berhadapan dengan jam kerja yang panjang dan bebankerja fisik yang berat. Bagi anak-anak yang dilacurkan, merekadiharuskan oleh germo untuk melakukan apa saja yang mesti dikerjakandengan dampak psiko-logis yang merusak jiwa dan masa depannya. Tanpaperlu dikaji lebih jauh di lapangan, mempekerjakan anak-anak sebagaiPSK, jelas merupakan perbuatan melawan hukum dan salah satu bentukkejahatan terburuk.
Konvensi ILO Nomor 182 dengan jelas menyatakan, pelacuran anak-anakharus dilarang dan dihapuskan, karena benar-benar telah melanggar hakanak, di samping risiko yang harus ditanggung mereka dinilai terlaluberat.
Berita TEMPO

NEWS II : Jumlah Anak-Anak Yang Dipasok Jadi Pelacur Di Indonesia Tinggi

sumber : tempo

Kamis, 12 Juni 2003 11:37 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:Di dunia sekitar 1,2 juta anak-anak terjebak dalam industri seks.
Memperingati tahun kedua Hari Menentang Pekerja Anak se-Dunia tanggal 12 Juni 2003, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) melalui program Internasional Penghapusan Pekerja Untuk Anak (IPEC) meluncurkan buku “Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih: Fenomena Anak Yang Dilacurkan Di Indonesia”. Peluncuran buku yang dihadiri Direkur ILO untuk Indonesia, Alan Boulton, dilakukan di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta Kamis (12/6). Selain peluncuran buku, juga dilaksanakan Debat Publik Membangun Aliansi Untuk Penghapusan Perdagangan Anak Perempuan Yang Dilacurkan.
Menurut Data ILO, sekitar 1,2 juta anak di dunia masih diperdagangkan dan terjebak dalam pekerjaan berbahaya atau kerja paksa ke eksploitasi seksual. “Perdagangan anak merupakan tindakan yang tidak bermoral dan ilegal yang memaksa anak-anak bekerja dalam kondisi memprihatinkan, dimana mereka seringkali diteror dan disiksa oleh oknum-oknum yang hidup dari memanfaatkan keluguan mereka,”kata Direktur Jenderal ILO Juan Somavia dalam siaran pers yang ditulis ILO.
Kondisi yang lebih memprihatinkan adalah kebanyakan anak-anak yang diperdagangkan berakhir dengan dieksploitasinya mereka menjadi pekerja seks komersial.
Kajian cepat yang baru dilakukan ILO-IPEC pada tahun 2003 memperkirakan jumlah pekerja seks komersial di bawah 18 tahun sekitar 1.244 anak di Jakarta, Bandung 2.511, Yogyakarta 520, Surabaya 4.990, dan Semarang 1.623. Namun jumlah ini dapat menjadi beberapa kali lipat lebih besar mengingat banyaknya pekerja seks komersial bekerja di tempat-tempat tersembunyi, ilegal dan tidak terdata.
Lebih lanjut, data yang ada memperlihatkan daerah-daerah pemasok anak-anak untuk kegiatan pelacuran meliputi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, sumatera Barat, Suamtera Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara. Sementara daerah-daerah penerimanya terutama Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar, Medan, Riau, Batam, Ambon, Manado, Makasar, dan Jayapura. Beberapa diantaranya bahkan diperdagangkan di luar negeri seperti Sinagpura, Malaysia, Taiwan, dan Jepang.
Buku yang diluncurkan tersebut berisi studi-studi lapangan yang dilakukan ILO-IPEC bersama dengan Universitas Katolik Atmajaya, Yayasan Kusuma Buana, dan Universitas Airlangga. Buku ini membahas latar belakang pelacuran anak di Indonesia, prosedur jaringan dan rekrutmen, kisah-kisah anak yang dilacurkan, faktor pendorong timbulnya pelacuran anak, perlindungan hukum dan implikasinya. “Peluncuran buku ini diharapkan dapat menggugah berbagai pihak untuk lebih peduli tentang pelacuran anak dan melakukan tindakan konkrit untuk mengatasinya,”ujar Andri Yoga Utami, salah satu editor buku ini. Ia juga menambahkan perlunya perubahan paradigma bahwa dalam kasus anak yang dilacurkan, anak hanya menjadi korban dan menjadi seseorang yang tidak punya pilihan. “Berbeda dengan PSK dewasa,”katanya.
Dalam kesempatan tersebut Alan Boulton menyerahkan secara simbolis buku “Ketika Anak Tak Bisa Lagi Memilih: Fenomena Anak Yang Dilacurkan Di Indonesia” kepada wakil dari parlemen remaja, pemerintah, lembaga donor, pekerja, LSM, organisasi kewanitaan, dan polisi.
“Ini adalah sesuatu yang dilihat ILO sebagai hal yang buruk sehingga pekerja anak terutama dalam hal seksual, harus dihapuskan,”kata Alan mengenai masalah anak yang dilacurkan. Indonesia pun menjadi salah satu negara yang termasuk dalam program IPEC karena kondisi pelacuran anak yang memprihatinkan.



NES III : TERBESAR SETELAH BISNIS PELACURAN, OMZET JUAL ORANG 32 TRILYUN RUPIAH



sumber : suara indonesia baru



Jakarta (SIB)Omset perdagangan orang (trafficking) di Indonesia setiap tahunnya diperkirakan mencapai Rp 32 triliun.Menurut data Bareskrim Polri, ini adalah omset terbesar kedua setelah bisnis pelacuran.Besarnya omset bisnis perdagangan orang ini, kata Menteri Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta, masuk akal mengingat bentuk perdagangan orang di Indonesia semakin beragam. Mulai dari buruh migran sebagai pekerja paksa, pembantu rumah tangga, pekerja anak, pelacuran paksa, eksploitasi seksual komersiil anak, pedofilia, pengantin pesanan, adopsi ilegal hingga perdagangan organ tubuh.“Kasus terakhir adalah keterlibatan oknum guru SMKN jurusan nautika perikanan laut di Bulukumba Sulsel yang merekrut siswa dengan biaya Rp 5 juta sampai Rp 6,5 juta untuk dipekerjakan di kapal nelayanâ, tutur Meutia dalam sambutan yang dibacakan Sekmen Koensatwanto pada acara sosialisasi UU No 21 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Orang (PTPO), Rabu (14/5).



Berdasarkan laporan KBRI Malaysia bulan Januari - Februari 2008, Satuan Tugas Pelayanan Perlindungan WNI berhasil menyelamatkan 6 orang Indonesia yang dilucurkan di hotel-hotel Kuala Lumpur. Selain itu laporan bulan April 2008, KBRI Malaysia menerima dua orang tenaga kerja di bawah umur minta perlindungan akibat sering dianiaya majikan.PERDAGANGAN ANAKDiakui Meutia, hingga kini belum ada data akurat jumlah perempuan dan anak yang diperdagangkan. Namun, diperkirakan 700 ribu hingga 1 juta per tahun. Bareskrim Kepolisian RI sendiri hingga 2007 mencatat 492 kasus perdagangan orang dengan melibatkan 1.015 (18%) orang dewasa dan 238 (19%) anak-anak.Sedang IOM (International Organization Migrant) hingga Januari 2008 mencatat 3.024 orang dengan rincian 5 bayi, 651 anak perempuan, 134 anak laki-laki, 2.048 perempuan dewasa dan 206 laki-laki dewasa.Indonesia diakui Meutia sudah melakukan berbagai upaya untuk memberantas perdagangan orang antara lain dengan dikeluarkannya UU PTPO dan kebijakan lainnya. Namun, semua itu tidak akan berarti tanpa adanya kesadaran dan perlawanan bersama dari semua pihak. “Pengetahuan masyarakat tentang kejahatan perdagangan orang masih rendah”, tandas Meutia. (PK/c)





NEWS IV : Child Trafficking di Indonesia



sumber tempo



Permasalahan tentang child trafficking (perdagangan anak) di Indonesia baru muncul sekitar dua tahun yang lalu, namun demikian keberadaannya menjadi hal yang tidak dapat dipungkiri lagi. Permasalahan ini menjadi kian kompleks seiring dengan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Dalam situasi ekonomi yang menghimpit, anak perempuan seringkali di pandang sebagai jalan keluar. Situasi semacam inilah yang menggiring anak-anak diperdagangkan untuk kepentingan eksploitasi seksual, seperti sebagai pelacur atau industri seks lainnya. Namun demikian persoalan perdagangan anak bukan hanya persoalan kemiskinan semata, melainkan menjadi persoalan multi aspek dan sangat kompleks.



Selain substansi permasalahan yang melibatkan banyak pihak yang bermain (korban, calo, agen, makelar, konsumen), struktur yang ada (hukum, sosial-budaya, ekonomi, dan politik) dan kultur (gaya hidup hedonis dan konsumtif) merupakan faktor-faktor yang melanggengkan terjadinya perdagangan anak. Beberapa laporan telah mengungkapkan keberadaan perdagangan anak di Indonesia, seperti laporan Farid yang mengungkap adanya sekitar 40 anak perempuan usia dibawah 18 tahun dikirim ke Taiwan dan Hong Kong setiap bulannya, diperkirakan sekitar 20% dari 5.000.000 TKI telah diperdagangkan dan dipekerjakan sebagai pelacur, terdapat 91 kasus perdagangan anak di Sumatera Utara antara tahun 1999 sampai dengan Mei 2002, diperkirakan 300-400 anak yang menjadi korban perdagangan dan eksploitasi seksual di Sumatera Utara, sementara perempuan dan anak-anak yang diperdagangkan di Asia Tenggara diperkirakan lebih dari 225.000 orang.



Diyakini oleh banyak kalangan bahwa kasus perdagangan anak itu seperti gunungan es, dimana jumlah yang sebenarnya jauh lebih besar dari kasus-kasus yang terungkap. Hal ini didasari dengan banyaknya tempat-tempat pelacuran yang tidak terdaftar dan tersembunyi. Dari laporan-laporan yang ada, menunjukkan bahwa perdagangan anak tidak hanya terjadi pada skala domestik tapi juga internasional. Jalur yang dipakai untuk perdagangan anak, biasanya menyatu dengan jalur yang digunakan dengan orang dewasa. Sebagaimana kasus yang melibatkan 500 wanita dari Blitar (Jawa Timur) yang di jual untuk dijadikan pelacur di Bukit Maraja (Sumatera Utara), dimana dilaporkan bahwa mereka adalah wanita dewasa, namun faktanya setengah dari mereka berusia di bawah 15 tahun dengan korban paling muda 13 tahun. Diperkirakan kebanyakan perempuan yang bekerja di pelacuran, semula adalah korban perdagangan terselubung. Sedangkan kasus-kasus perdagangan anak internasional banyak yang memanfatkan jalur buruh migran atau yang biasa di kenal dengan TKI (Tenaga Kerja Indonesia), dan ditempat tujuan banyak yang dijadikan pelacur. Modus operandi memanfaatkan jalur ini semakin sulit dilacak karena banyak diantara sindikat memanfaatkan kelemahan pengawasan dan monitoring aparat terhadap jalur pengiriman TKI secara resmi. Hal ini semakin diperlancar dengan mudahnya seseorang memalsukan identitas, khususnya bagi mereka yang usianya belum cukup yaitu masih dibawah 18 tahun. Perdagangan ini didalangi oleh mafia, geng, dan orang-orang tertentu yang berprofesi memperdagangkan anak-anak dan perempuan. Perekrutan dilakukan melalui bujukan & penipuan, ancaman & paksaan, atau kekerasan serta penculikan. Sasaran mereka adalah keluarga miskin, anak-anak yang kehilangan keluarga akibat bencana dan anak-anak korban kekerasan dalam keluarga. Daerah-daerah yang selama ini menjadi pemasok anak-anak untuk pelacuran adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, Sumatra Barat, Sumatra Utara, Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara. Sedangkan daerah yang menjadi tujuan perdagangan untuk tingkat domestik adalah kota-kota besar di Indonesia seperti: Jakarta, Bandung, Surabaya, Denpasar, Medan, Batam, Ambon, Manado, Makassar, dan Jayapura. Sedangkan untuk tujuan internasional meliputi Malaysia, Singapura, Brunei, Australia, Taiwan, Korea, Jepang, Arab Saudi, Emirat Arab, Qatar, Bahrain, Oman dan Kuwait, Tokyo, Jerman, Belanda, Winna dan Hongkong. Indonesia, menurut laporan Departemen Negara Amerika Serikat perihal perdagangan manusia (trafficking in person), masuk pada tier (tingkat) ketiga atau peringkat terburuk dalam menangani perdagangan manusia di wilayahnya. Dimana pemerintah tidak melakukan usaha untuk memenuhi standar minimum dalam menangani perdagangan manusia. Bahkan mereka yang menempati peringkat ini pemerintahnya menolak untuk mengakui masalah perdagangan manusia diwilayah mereka. Sekalipun pemerintah Indonesia tidak sampai kepada penolakan untuk mengakui tentang keberadaan perdagangan manusia, namun hingga sekarang belum ada usaha yang signifikan untuk mensikapi permasalahan ini.





NEWS IV : Nestapa Anak-anak Kita
SUMBER : TEMPO, Sabtu, 13 Desember 2008 01:06 WIB




Pemerintah perlu menanggapi serius meningkatnya jumlah kasus perdagangan dan eksploitasi seksual terhadap anak. Kejahatan ini akan semakin merajalela di tengah krisis ekonomi seperti sekarang. Jika tak ada upaya memerangi secara sistematis, kelak negeri ini akan menuai generasi yang bobrok.
Lihatlah data Koalisi Nasional Penghapusan Eksploitasi Anak dan Komersial Anak dalam sebuah seminar di Jakarta belum lama ini. Setiap tahun sekitar 150 ribu anak menjadi korban eksploitasi seksual. Angka ini naik dua kali dibanding pada 1998. Berdasarkan data Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak (UNICEF), saat itu angka kekerasan seks terhadap anak sekitar 70 ribu kasus per tahun.
Jangan heran bila peringkat Indonesia dalam urusan yang tidak bisa dibanggakan ini pun meroket. Tahun lalu, kita masih berada di urutan kelima sebagai tempat favorit wisata seks anak. Kini kita "naik kelas", menempati urutan ketiga, di bawah Brasil dan Vietnam.
Kasus pelacuran anak paling sering muncul di daerah wisata, seperti Lombok dan Bali. Di sana banyak bocah laki-laki yang terjerumus dalam dunia pelacuran dan menjadi santapan kaum pedofil. Tak sedikit pula di antara mereka yang diperdagangkan, bahkan dibawa ke negara lain. Di daerah lain, eksploitasi seksual terhadap anak juga terjadi. Banyak anak perempuan berusia kurang dari 18 tahun dipaksa melacur. Sebuah penelitian bahkan menyimpulkan, 30 persen pekerja seks yang beredar di negeri ini adalah anak-anak. Umumnya mereka terjerat dalam pelacuran karena faktor kemiskinan.
Tak ada upaya serius menyelamatkan mereka. Pemerintah pusat dan daerah kurang peduli. Ini tecermin dari tiadanya program konkret yang dibiayai anggaran negara atau daerah untuk memerangi pelacuran dan perdagangan anak. Sementara itu, polisi tidak memprioritaskan pengusutan terhadap kasus-kasus eksploitasi seksual terhadap anak. Padahal memerangi pelacuran anak sama pentingnya dengan memberantas perjudian, premanisme, dan narkoba, karena akibat kejahatan itu sama-sama buruk bagi bangsa ini.
Keuntungan materi yang didapat anak-anak dari dunia gelap itu tak sepadan dengan penderitaan mereka. Berbagai hasil penelitian menyebutkan, anak-anak yang dilacurkan gampang tertular virus mematikan HIV/AIDS. Mereka juga sering mengkonsumsi minuman keras dan dan obat-obatan terlarang, seperti ekstasi. Pelacur anak-anak sangat rentan pula mengalami tindak kekerasan, baik secara seksual, fisik, maupun nonfisik, seperti dihina dan diejek.
Pemerintah pusat, juga daerah, wajib menolong bocah-bocah malang itu. Soalnya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jelas memberikan perlindungan maksimal bagi-bagi anak-anak, termasuk dari eksploitasi seksual. Agar beban pemerintah pusat tidak terlalu berat, daerah-daerah perlu diminta mengeluarkan anggaran yang cukup untuk menyelamatkan anak-anak dari dunia pelacuran.





NEWS V : 95 Persen Korban Pelacuran Anak Mengidap Sakit Kelamin




sumber : kompas, Rabu, 17 Desember 2008 01:21 WIB




Jakarta, Kompas - Sebanyak 95 persen anak Indonesia korban pelacuran di luar negeri mengidap pelbagai jenis penyakit kelamin hingga terpapar virus HIV. Head Social Worker International Organization for Migration Anna Sakreti yang dihubungi hari Selasa (16/12) menjelaskan, temuan itu didapat dari 807 anak korban trafficking (perdagangan), usia antara 15 tahun dan 18 tahun yang didampingi Maret 2005 hingga September 2008.
”Dari jumlah itu, 21,68 persen adalah korban eksploitasi seksual. Mereka terkena pelbagai penyakit menular seksual dan diobati di RS Polri Kramat Jati lalu mendapat rawat jalan. Observasi terus dilakukan kepada mereka,” kata Anna.
Jenis penyakit menular seksual (PMS) yang dialami anak korban pelacuran adalah chlamydia (76,6%), gonorrhea (6,3%), hepatitis B (3,8%), trichomoniasis (3%), condilloma accuminata (2%), sifilis (1,8%), dan HIV positif (1,1%).
Secara berurutan, lima besar negara tujuan utama trafficking anak adalah Malaysia, Indonesia, Arab Saudi, Mauritius, dan Jepang. Menurut Anna, jumlah anak korban pelacuran yang ditangani IOM merupakan fenomena gunung es. Masih banyak anak korban pelacuran yang belum terpantau.
Biasanya, anak-anak korban pelacuran yang ditangani IOM merupakan rujukan dari Pelabuhan Tanjung Priok, Terminal IV Bandara Soekarno-Hatta, lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Entikong-Kalimantan Barat, Batam, Riau, Mabes Polri, dan terkadang Departemen Sosial. Begitu diserahkan, para anak korban pelacuran mendapat tes kesehatan menyeluruh.
Para korban dipulihkan psiko-sosial dan fisik di Rumah Sakit Polri Kramat Jati, Jakarta Timur. Rata-rata mereka dirawat selama dua minggu di rumah sakit.
Selama 2005-2007 kondisi para korban masih dimonitor di daerah oleh 80 mitra LSM yang mendampingi mereka. Namun, sejak tahun 2008, program itu tidak dilanjutkan karena negara donor menghentikan bantuan. Negara donor menganggap Indonesia dianggap sudah memiliki perangkat undang-undang yang memadai.
Namun di lapangan, pendampingan terhadap anak korban pelacuran tidak berlanjut, termasuk dalam hal pemantauan kesehatan oleh pemerintah daerah. Sementara untuk daerah Jabodetabek, pemantauan kesehatan masih terus berlangsung.
Dirawat KBRI
Anna Sakreti menambahkan, kini para korban trafficking itu juga mendapat pemeriksaan kesehatan awal di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur, Malaysia. Anak korban trafficking juga mendapat perawatan kesehatan.
”Anak yang menjadi korban trafficking usianya bervariasi, dari 3 tahun hingga 18 tahun. Sebagian besar dari mereka dieksploitasi sebagai pembantu rumah tangga (33,58%), eksploitasi di tempat transit (23,54%), dan eksploitasi seksual (21,68%).
Daerah asal anak-anak yang menjadi korban trafficking adalah Kalimantan Barat (30,98%), Jawa Barat (16,11%), Jawa Timur (9,9%), Nusa Tenggara Barat (8,43%), dan Sumatera Utara (8,3%). (Ong)





NEWS VI : Sindikat Pelacuran Anak Ditangkap



SUMBER : OKEZONE.COM, Rabu, 30 April 2008 - 20:24 wib

KEDIRI - Satuan Reskrim Polresta Kediri berhasil meringkus komplotan penjual anak yang dipekerjakan sebagai PSK. Selain mengamankan seorang germo, petugas berhasil menyelamatkan seorang gadis di bawah umur yang sedang melayani lelaki hidung belang.Pengungkapan sindikat ini bermula dari informasi masyarakat tentang banyaknya gadis-gadis muda yang berkeliaran di sebuah hotel di Kediri. Setelah dilakukan penyelidikan, diketahui jika perempuan yang mayoritas masih di bawah umur itu bekerja melayani lelaki hidung belang yang menginap di hotel. "Berdasarkan informasi itu, kami memutuskan untuk melakukan penggerebekan di salah satu hotel ternama yang menyediakan PSK yang masih ABG. Beruntung ada salah satu tamu yang sedang memesan jasa mesum saat digeledah," ujar KBO Reskrim Polresta Kediri Iptu Edy Herwianto, Rabu (30/4/2008).



Saat didobrak, petugas menemukan seorang ABG berinisial Int, yang masih berusia 17 tahun sedang menemani lelaki hidung belang. Mereka tidak bisa mengelak telah melakukan perbuatan mesum karena tertangkap tangan. Saat itu juga petugas menggelandang Int, warga Kel Tinalan, Kec Pesantren, Kediri dan tamunya, Suwanto (41), warga Kabupaten Nganjuk ke Mapolresta Kediri. Saat diperika, Int mengaku bekerja di bawah kendali seorang germo bernama Novita (35), warga Kecamatan Gampengrejo, Kediri. Selain dirinya, Int mengaku dipaksa melayani lelaki hidung belang bersama dua rekannya yang masih anak-anak, yakni Shl (18), warga Kel Semampir, Kec Kota, Kediri, serta Egy (18), warga Gampengrejo, Kediri.Petugas yang sudah mengantongi keberadaan Novita dengan mudah meringkusnya tanpa perlawanan. Wanita paruh baya itu mengaku terpaksa mempekerjakan para ABG dengan alasan ingin menolong kebutuhan ekonomi mereka. Novita sendiri cukup senang mengasuh dan mempekerjakan gadis di bawah umur karena lebih disukai pria hidung belang. "Saya dulu juga PSK. Karena dimintai tolong mencarikan pekerjaan, saya mengarahkan ke profesi yang pernah saya lakukan," ujarnya saat diperiksa.



Novita mengaku sudah melakukan pekerjaan itu selama satu tahun. Untuk lelaki yang ingin menikmati tubuh ABG, perempuan yang sudah bekerja sebagai PSK sejak tahun 1995 ini mematok harga antara Rp300-400 ribu sekali kencan. Tarif tersebut menurutnya cukup sesuai dengan pelayanan yang diberikan para ABG. Hal itu terbukti dengan banyaknya peminat yang rata-rata sudah berumur dan memiliki keluarga. Hingga saat ini petugas masih mengembangkan penyelidikan kepada jaringan penjual anak ini. Sebab diduga Novita juga berprofesi sebagai penyalur ABG ke sejumlah daerah lain. Untuk itu, petugas langsung menahan Novita guna pemeriksaan berikutnya. Sementara tiga ABG yang menjadi anak buahnya langsung dikirim pulang ke rumahnya masing-masing. Akibat perbuatan tersebut, Novita dijerat dengan UU No. 21 tahun 2007 tentang perdagangan orang dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara. Selain itu tersangka juga dijerat dengan UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, dengan ancaman hukuman penjara lebih dari 7 tahun. (Hari Tri Wasono/Sindo/hri)




NEWS VII : 30% Pelacur Anak di Bawah Umur
sumber : suara merdeka Selasa, 08 Juli 2008




Diperkirakan, 30 persen pelacur atau pekerja seks komersial (PSK) di Indonesia dijalani oleh anak-anak di bawah umur atau di bawah usia 18 tahun. eksploitasi seks komersial terhadap anak (Eska) terjadi dalam tiga hal. Yakni, prostitusi, perdagangan anak (trafficking), dan pornografi. Ia mengatakan, Eska bukan hanya masalah moral, tapi masalah sosial. Anak-anak itu melacurkan diri atau dipaksa melacurkan diri karena desakan ekonomi. Menurut Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LPPM-UNS Surakarta, Ir Retno Setyowati mengatakan, di Solo paling tidak terjadi 164 kasus eksploitasi seks komersial terhadap anak. Para korban tersebut merata di lima kecamatan yang diteliti. Mereka tidak hanya berasal dari Solo, tapi juga dari berbagai daerah. ( Suara Merdeka )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar