Rabu, 17 Desember 2008

CHILD SEXUAL ABUSE AND PEDOPHILA : PORNOGRAPHY ON INTERNET

Pengaturan Pornografi di Internet
.
Sumber : Replubika, Selasa, 11 November 2008 pukul 13:17:00


Sonny ZulhudaPengajar Hukum Cyberlaw di Multimedia University, Cyberjaya, MalaysiaBangsa Indonesia sekali lagi mencatat peristiwa penting dengan lahirnya Undang-undang Pornografi (UUP) yang bertujuan menciptakan kepastian hukum atas penggunaan, penyediaan, dan penyebaran produk dan jasa pornografi di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Setelah lama energi kita terkuras untuk menemukan formula perundangan terbaik, kini kita berharap agar produk legislatif ini tidak menjadi macan ompong (Republika, 31/10).
Perhatian kini perlu difokuskan untuk menyusun strategi pemberlakuan UUP melalui mekanisme peraturan turunan dan tentunya partisipasi seluruh bangsa secara konstruktif sebagaimana yang dijiwai oleh UUP. Jika pro-kontra UUP di media massa sudah mulai reda, tidak begitu halnya di dunia maya (cyberspace). Ini karena terbukanya kesempatan bagi setiap orang mengemukakan pendapatnya melalui media Internet tersebut.
Namun, ada alasan lain mengapa perdebatan itu akan terus berlangsung. Sampai saat ini internet masih dianggap sebagai 'safe heaven' bagi pebisnis pornografi. Setiap hari ratusan ribu halaman jejaring (web page) mengandung muatan pornografi tercipta di dunia maya. Tidak kurang arsitek modernisasi Malaysia, Dr Mahathir Mohammad, yang dulu aktif menyuarakan 'internet non-censorship policy' kini menganggap kebijakan itu perlu ditinjau kembali mengingat maraknya pornografi yang merusak moral generasi muda. Ketiadaan sistem filter yang tidak diatur di Indonesia juga menjadikan pengguna di Indonesia dapat dengan mudah mengakses pornografi baik sengaja ataupun tidak. Keadaan inilah yang diharapkan berubah dengan adanya UUP ini.
Tulisan ini tidak bermaksud membahas (ulang) berbagai argumentasi pro dan kontra terhadap UUP ini. Namun, ini hanya mencoba melihat beberapa tantangan implementasinya di ruang maya.Konsolidasi perundanganYang pertama adalah perlunya konsolidasi perundangan. Perlu diingat bahwa UUP ini bukan satu-satunya UU di Indonesia yang mengatur muatan internet. UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) di antaranya melarang siapa saja mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya muatan elektronik yang melanggar kesusilaan. Ancamannya adalah penjara maksimal enam tahun atau denda maksimal satu miliar rupiah. Hukuman sepertiga lebih berat dapat dikenakan jika perbuatan itu menyangkut eksploitasi anak. Sementara itu, UUP mengancam orang yang memproduksi, menyebarluaskan, menyiarkan atau menyediakan pornografi di Internet dengan pidana penjara 1- 12 tahun atau denda setengah hingga enam miliar rupiah. Selain itu, mengunduh pornografi melalui sistem teknologi informasi dan komunikasi dapat dipidana maksimal empat tahun penjara atau denda dua miliar rupiah. Jika melibatkan anak, ancaman pidananya akan menjadi sepertiga lebih berat.Persinggungan antara dua produk UU kadang terjadi karena adanya perbedaan konteks dan tujuan perundangan. Untuk itu perlu dilihat keberadaan dua UU ini bukan menjadi kontradiksi, tapi justru complementary, yaitu saling melengkapi. Dalam konteks ini, UUP terlihat lebih keras karena secara khusus bertujuan menekan pornografi dan melindungi generasi muda.
Sementara itu, UUITE bertujuan memberikan kepastian hukum dalam penggunaan teknologi informasi, seperti transaksi elektronik. Keadaan ini memberikan pilihan lebih luas kepada penegak hukum dalam upaya menindak pelaku pidana terkait. Keduanya juga saling melengkapi, misalnya untuk hukum penggunaan alat bukti elektronik. Konsolidasi untuk menentukan aturan turunan menjadi mutlak diperlukan antara berbagai instansi pemerintah yang terkait dengan kedua UU ini.
Tanggung jawab UUP melarang pemuatan dan penyebarluasan pornografi di berbagai media termasuk internet. Masalahnya, sering kali pembuat atau pemasok pornografi di internet adalah anonim alias tidak bernama atau beridentitas. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat fasilitas Internet seperti situs, blog, atau email pada umumnya tersedia secara gratis dan tidak memerlukan identitas asli pendaftar. Sementara itu, data mutakhir di Indonesia menunjukkan mayoritas pengguna internet memakai fasilitas umum, seperti warnet atau fasilitas kantor atau sekolah yang tidak diatur sistem aksesnya. Keadaan ini bisa mengaburkan identifikasi orang yang memproduksi, memuat atau menyebarkan pornografi di internet.Walhasil, dalam keadaan di mana pelaku asal pemuat pornografi tidak teridentifikasi, perhatian penegakan hukum hanya dapat difokuskan kepada penyedia akses terhadap muatan itu, yaitu para penyedia jasa internet (PJI) dan penyedia hosting.
Secara teknis, PJI yang fungsinya menyediakan koneksi internet kepada pelanggan berisiko dianggap menyebarluaskan atau menyediakan pornografi seperti yang dilarang oleh UUP atau mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya pornogafi sebagaimana dilarang di UUITE. Padahal, mengharapkan PJI melakukan kontrol editorial terhadap muatan yang masuk setiap hari sama saja seperti mengharapkan kematian industri tersebut. PJI tidak bisa disamakan dengan editor koran atau majalah yang mengontrol muatan yang dapat dan tidak dapat masuk ke kolom media mereka. Dalam bahasa the European Directives on Electronic Commerce, fungsi PJI adalah sekadar pipa saluran (conduit). Prinsip ini juga diadopsi oleh berbagai negara dalam hal pengaturan muatan isi internet. Ini dikarenakan PJI tidak tahu-menahu isi dari muatan informasi yang disalurkan olehnya kepada pelanggan, persis seperti posisi penyelenggara telekomunikasi telepon.
Jadi, sejauh mana pertanggungjawaban PJI dalam hal ini? Dapatkah mereka dianggap menyebarkan, menyiarkan, atau membuat dapat diaksesnya pornografi di internet dan diancam pasal pidana? Ketidakpastian hukum ini perlu dijawab dengan peraturan turunan, baik melalui peraturan pemerintah, peraturan menteri, atau lainnya.
Jangkauan penegakan hukum
Isu jangkauan (yurisdiksi) hukum dalam media Internet menjadi tantangan tersendiri. Sebagaimana diketahui, media internet bersifat lintas teritorial. Produksi dan jasa pornografi internet yang dilarang melalui UUP sebagian besarnya berasal dari luar negeri dan dikonsumsi di dalam negeri. Dapatkah UUP mengatasi hal ini? Kita bisa menilik UUITE yang menyatakan bahwa UU tersebut berlaku terhadap orang yang berada di luar wilayah hukum Indonesia selama perbuatannya memiliki akibat hukum di Indonesia atau merugikan kepentingan Indonesia. Meski begitu, di lapangan masih tersisa pertanyaan tindakan bagaimana yang dapat dilakukan. Jangan-jangan, akhirnya PJI juga yang akan dibebankan dan diminta untuk memblokir muatan internet itu seperti yang terjadi dalam kasus film Fitna.Dalam konteks ini, diplomasi dan kerja sama internasional menjadi sebuah keharusan. Apalagi mengingat maraknya sindikat pornografi dan pedofilia (termasuk penyelundupan manusia) bekerja secara profesional dalam jaringan global. Dalam kaitan ini pula perlu kita dukung usaha pemerintah RI untuk mengadopsi atau mengaksepsi traktat internasional terkait dengan tindak pidana siber yang disponsori oleh Masyarakat Uni Eropa (Cybercrime Convention 2001) yang salah satunya menyediakan mekanisme universal (seperti mutual legal assistance) dalam penanggulangan tindak pidana di alam maya termasuk pornografi anak.Pendiri Pusat Internet dan Masyarakat Universitas Stanford, Prof Lawrence Lessig, menyatakan bahwa media Internet tidak bisa lepas dari hukum dan pengaturan. Menurutnya, menganggap internet sebagai ruang bebas hukum adalah sebuah kesalahan berpikir. Prestasi UUP dan UUITE adalah menunjukkan kesalahan berpikir itu dengan memberikan kepastian hukum dalam dunia Internet di Indonesia. Namun, perlu strategi dan mekanisme lebih lanjut untuk memastikan efektivitasnya agar dunia internet Indonesia menjadi ruang hukum yang mendorong integritas dan kapasitas bangsa.
Provided by
DR WIDODO JUDARWANTO
SAVE INDONESIAN CHILD FROM PEDOPHILIA AND SEX ABUSE
WE SMILE WITH YOU, WORKING TOGETHER SUPPORT ALL OF CHILDREN
Yudhasmara Foundation
JL TAMAN BENDUNGAN ASAHAN 5 JAKARTA PUSAT, JAKARTA INDONESIA 10210
PHONE : (021) 70081995 – 5703646
email :
cfc2006@hotmail.com, allergyonline@gmail.com,
http://pedophiliasexabuse.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar